...jatuh dari mulut sepasang singa batu di kepala kolam membuat teduh suasana. Hanya dibatasi oleh pagar kecil dengan sejurus jembatan mungil yang melintasi balkon adalah bagian dari kamar yang ditempati Dante.
..."Akkkhhh… Ssshhhhh…" Rose mendesis, liang kehangatannya mengejang sesaat, matanya terpejam rapat. Dante menarik sedikit penisnya, kemudian menekan sekali lagi untuk menyempurnakan penetrasinya. Saat membuka matanya kembali, Rose menemukan tatapan Dante menghujam dalam ke relung hatinya. Hanya mata mereka yang bicara. Percik gairah makin sempurna bermain di sana. Gairah yang meninggi dari perasaan yang lebih intim, keinginan untuk peduli dan memiliki. Dan itu mengakhiri kediaman mereka.
"Rose… bagaimana tidak kucintai dirimu," bisik Dante. Rose memejamkan mata, menekan emosinya saat mendengar ucapan Dante. Namun tetap saja air mata merebak, memenuhi rongga matanya. Kali ini tangis kebahagiaan menyergap, lepas, mengalahkan semua perasaan lain. Rose melingkarkan kedua lengannya di leher Dante, memeluk erat. Diantara isaknya Rose menciumi setiap bagian wajah Dante.
"I love you too Dante."
Sementara Dante masih menatap mesra wajah Rose, membelai pipinya, meletakkan jari telunjuknya dan bermain di bibir mungil Rose.
Rose tertawa di antara tangisnya, "Kamu nakal Dante. Bagaimana kamu bisa membujukku sampai berada di sini?" tanya Rose tak mempercayai keadaan mereka saat itu.
"Berada di mana? Maksud kamu berada di bawahku seperti saat ini?" Dante masih menggoda dengan nakalnya.
Rose jengah memikirkan dirinya telanjang dalam dekapan Dante yang memasuki tubuhnya. Rona merah mewarnai mukanya. Dan itu membuat Dante makin tertawa lebar.
"Hush… suka ya lihat Rose jadi malu begini, tadi bikin nangis juga."
"Kamu memang pintar bermain dengan perasaan orang, pasti sudah banyak yang berhasil kamu bawa ke sini," ia merajuk dengan pertanyaan klise.
"Rose, tanyakan pada dirimu sendiri. Tidakkah kamu merasakan kalau ini sangat alami. Rasa saling tertarik itu begitu kuat. Bahkan aku merasa kalau kita memang diciptakan untuk saling memiliki."
"Kamu serius dengan itu?" mata Rose mencoba mencari jawabannya. Dipandangnya reaksi Dante.
"Lihat ke dalam mataku, Rose sayang. Kamu akan menemukan jawabannya."
Sekali lagi Rose memeluk erat, lebih hangat, oleh kepercayaan yang perlahan mulai tumbuh. "Tak perlu Dante, aku mencintaimu, aku percaya padamu." Api itu memanas lagi, memaksa Dante mulai menggerakkan pinggulnya perlahan, berputar putar sambil sesekali menekan kuat. Rose menggeliat, mengejang, mendesah, merintih… Saling mengisi, saling menyentuh. Malam mulai pekat, lamat-lamat alunan gamelan Jawa menyapa udara. Mendung yang sore tadi menggelayut kini menghitam, desau angin makin kencang dan akhirnya membawa tetes air hujan. Gerimis pada awalnya sebelum lambat laun menjadi hujan lebat. Daun jendela kamar Dante bergemeretak diserbu angin. Desahan dan erangan sepasang anak manusia itu memenuhi ruangan. Membangun perlahan gelombang demi gelombang kenikmatan. Rose menggeliat lebih cepat. Dante melingkarkan tangan kanannya di bawah pinggang Rose. Sedikit mengangkat pinggulnya sambil menghujamkan penisnya sedalam mungkin. Berputar, kemudian menarik penis kearah atas. Mengelus klitorisnya dalam tarikan keluar masuk.
"Kamu bisa menikmatinya Rose? Jangan ditahan… Biarkan badai itu datang," bisik Dante sambil menjilati bagian kuping Rose. "Aku ingin membahagiakanmu, memuaskanmu, biarkan orgasme itu datang sebanyak mungkin."
Dante bangkit dengan posisi duduk bersimpuh, kedua telapak tangannya menarik pinggul Rose merapat. Menekan penisnya keras kearah bawah. Hingga tekanan ke klitoris semakin kuat, sentuhan dan gesekan semakin intens dengan goyangan cepat. Pinggul Dante maju mundur.
Rose menggeliat tanpa mendapatkan tubuh Dante. Tangannya bergerak menggapai setiap yang tersentuh oleh tangannya. Mencengkeram kuat pada sprei.
"Hhhh… Sssshh… Danteee…" makin tinggi diangkatnya pinggulnya yang berada dalam topangan tangan Dante. Digoyang-goyangkan seperti lepas kendali.
"Akkkkkhhhhh…" Tubuhnya mengejang. Kedua pahanya menjepit keras pinggang Dante.
Sekian detik, akhirnya tubuhnya bagaikan kehilangan rasa, terkulai lemah. Nafasnya memburu. Masih menggeliat lemah, Rose melepaskan penis Dante dari vaginanya. Bergerak pelan menggulingkan tubuhnya, memunggungi Dante. Bertumpu pada siku tangannya. Rose mengangkat pinggulnya, menahannya dengan kedua lututnya.
"Dante…," tangannya menggapai ke belakang mencari. Dante mengulurkan tangan, menerimanya, meremasnya dengan sayang. Mendekati wajah Rose yang menengok kepadanya. Memberikan sebuah ciuman teramat mesra.
"Masuki aku Dante, kamu belum kan sayang?" bisiknya lembut, masih gemetar oleh serbuan badai orgasme yang baru dialaminya. Sebuah ciuman lagi buat Rose, sebelum dia mundur, lalu berlutut di belakangnya, siap untuk memasuki.
Dielus dengan lembut kedua buah pinggulnya, lebar, indah. Dikecup sejenak keindahan itu. Memainkan jarinya di sekitar klitoris, mengusap naik dengan ketiga jari sekaligus. Hingga mencapai lubang anus, jari tengah Dante bermain di permukaannya. Kembali mendekatkan kelelakiannya pada bibir bawah yang basah mengkilat itu. Menekan lembut, keluar masuk beberapa kali sebatas kepala penis saja. Hingga kesabaran Rose tergoda. Ia mengulurkan tangan ke belakang menjangkau pinggang Dante, menariknya kuat. Cukup kuat penis itu menerjang masuk, bertahan sebentar di dalam, berdenyut-denyut, kembang kempis dipermainkan oleh Dante.
Akhirnya Dante mulai bergerak memompa dengan irama konstan, sebelum makin cepat… makin cepat… Tubuh Rose terguncang-guncang oleh koyakan Dante yang menerjang masuk dan keluar. Ia berteriak, merintih, mendesah hebat, mendongakkan kepala, menggelepar. Mengejang sebentar, kemudian menjatuhkan kepalanya ke ranjang. Berusaha bertahan dari serbuan kenikmatan yang mendesak datang dalam hitungan detik. Tangannya mencengkeram kuat pada sisi pinggir ranjang.
'Akkkhh… Dannn…" Rose menggigit bantal tempat dia meletakkan kepala. Menggeleng kuat pada puncak ekstase, melemparkan bantal yang digigitnya saat dia harus berteriak keras. Ekspresi wanita dalam puncak ...
"Keindahan senja ini bisa kunikmati setiap hari, tapi tidak dirimu. Nggak keberatan kalau kita bicara di dalam? Terlalu banyak angin disini."
Rose mengamati Dante, sebelum memutuskan untuk mengikuti ajakannya. Perlahan melangkah menyusuri jembatan sempit dengan balutan tangan Dante dalam genggamannya. Ada rasa lemas tak berdaya digenggam tangan sekuat itu.
Mereka tiba di depan sebuah bungalow yang pintunya berukir Jawa kuno berwarna coklat tua, sinar temaram kekuningan mengintip dari dalamnya. Agak ragu Rose mengulurkan tangan menyentuh pintu dan perlahan mendorongnya ke dalam. Aroma melati sayup menerpa indera penciumannya. Kaki telanjangnya melangkah melewati selasar bungalow yang menghubungkannya ke ruang utama. Lalu secepat kilat menyambar, Dante menyergap tengkuk Rose dengan satu ciuman. Hanya satu ciuman, ingin ditarik kembali sesudahnya tapi bibir Dante berhenti di tengkuk berbulu halus itu.Tak ada penolakan. Dante melingkarkan tangannya di pinggang ramping Rose, memeluk dari belakang. Rose terdiam, memejamkan matanya. Melihat reaksi itu Dante mulai bermain dengan lidahnya, menjelajahi setiap inci leher Rose, menyibakkan rambut yang jatuh menutupinya. Sejenak Rose terseret dalam buaian. Tangan Dante bergerak naik meremas lembut payudara Rose.
"Sebentar," tapi kemudian Rose mendorong Dante, membuatnya mundur beberapa langkah, terhenti oleh dinding.
"This is not right."
Dante cuma menatapnya sembari terus menebarkan pesona. Ia masih tegak berdiri, memandang tajam, membuat lutut Rose kian lemas dan bergetar.
"Oh God. What am I doing?" Rose tanpa sadar menggumam, sambil menyapukan kedua telapak tangannya melewati rambut tebalnya dengan remasan kuat.
Sekian menit, dua pasang bola mata mereka saling terkunci, tak mampu berpaling. Rose menggigit bibirnya. Lalu, bagaikan dua zat kimia bersatu dan membentuk letupan hebat… Cepat, setengah berlari mereka mendekat. Bibir mereka bertemu. Dante bergerak sangat agresif, bibir Rose lumat dalam kuluman panjang serta permainan lidah Dante. Nafas mereka berkejaran. Rose melenguh.
Kemudian mereka terdiam, hanya bibir mereka masih bersentuhan, menetralisir nafas yang hampir terputus. Tangan Rose bergerak nakal, turun mencari penis Dante.
...kenikmatan dunia, salah satu pemandangan terindah di mata Dante. Keindahannya mengisi penuh jiwa Dante yang haus, membuatnya makin terstimulasi. Perlahan ia bergerak meluruskan kedua kakinya, untuk mendapatkan gerak yang lebih leluasa. Setengah berdiri dengan posisi kuda-kuda, diangkatnya pinggul Rose lebih tinggi. Semua sisa tenaga Dante yang terakhir akan dipertaruhkan di sini. Bergerak cepat, menggoda kembali kenikmatan yang belum sepenuhnya tuntas meninggalkan Rose saat orgasme tadi. Sebentar saja, Rose kembali menggeliat. Antara kenikmatan yang mendera, serta keinginan untuk menyerah, juga untuk membahagiakan Dante. Belum pernah Rose merasa ingin melewati batas kemampuannya. Tapi ini adalah yang pertama, keingintahuan tentu lebih dominan. Keinginan menikmati sensasi yang melewati batas yang mungkin diterima oleh tubuhnya. Melayang oleh desakan orgasme, mengejang sesaat.
Reaksi tubuh Rose disambut Dante. Dipersiapkannya orgasmenya sendiri. Bertahan dengan sperma yang menerjang menumpuk dalam rongga kejantanannya. Bertahan dengan nafas yang makin tersengal.
"Aaaahhh…" Dante mendesah berat, saat dia melepaskan pertahanannya. Saat bersamaan ia melihat Rose mengejang dalam desisan panjang. Segera kepala Dante terasa melayang, membuatnya terdongak kebelakang, mencari udara sebanyak mungkin. Diisinya dadanya penuh-penuh oleh oksigen dalam jumlah besar yang sesaat tadi hilang.
Perlahan Dante menjatuhkan tubuhnya menindih tubuh Rose yang lebih dulu terkulai. Dengan kelelahan yang mendera tubuhnya, dia tersenyum memandang Rose, yang maskara hitamnya meninggalkan noda di bawah mata. Dahinya berkilat oleh keringat dan rambutnya terburai liar di atas bantal. Dielusnya tubuh kekasihnya, mesra.
Bergerak Dante meraih bungkus rokoknya. Dinyalakannya satu untuk Rose, satu untuk dirinya. Hujan telah lama reda, alunan gerimis tinggal satu satu menitik di lantai batu teras bungalow. Udara sejuk dengan bau tanah basah dan dedaunan yang baru tersiram air.
Rose masih memandangnya, "Dante, I`m a married woman."
"Hmmm…" senyum tersungging saat ia menemukannya keras terbungkus di balik celana. Dante bergerak pelan membuka kemejanya. Satu kancing yang tanggal, satu kecupan didaratkan Rose di dadanya. Lidahnya bermain bergantian di kedua puting Dante ketika seluruh kancing baju itu terbuka, sambil melepaskan celana Dante dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergerak turun mengikuti celana Dante yang lepas, lidahnya berputar melingkar membelai perut Dante. Lalu berhenti.
Rose dalam posisi berlutut. Di depannya, Dante berdiri telanjang dengan penis mengacung. Sesosok naga menggeliat, memamerkan lidah apinya yang merah kekuningan di antara bulu yang cukup lebat itu. Mata Rose melebar kagum, bibirnya separuh membuka.
"You turn me on, Dante." Separuh terpejam dikecupnya tatto itu, sambil menggenggam penis Dante. Bibirnya bergerak turun dan mengulum lembut kedua buah zakarnya bergantian, penuh kenikmatan.
"Lembut, Dante… So delicate… I like them in my mouth……" Rose berbisik separuh mengigau. Hasratnya meninggi merasakan gesekan buah pelir Dante di antara lidah dan bibirnya. Lama… dan perlahan. Puas dengan itu, lidah Rose menyapu naik sepanjang penis, berulang-ulang.
"Uuuhhhh… keras sekali…" Mulutnya menceracau, merengek, separuh menangis, mengeluskan ke wajahnya penis Dante yang menegang merah tua, pucuk penisnya berkilat dengan setetes cairan kenikmatan. Ia memandang sejenak reaksi Dante. Mata mereka bertemu. Rose tersenyum dan melepaskan satu sapuan lidah yang panjang di situ, sebelum akhirnya bergerak cepat menghisap.
Tiba-tiba Rose berdiri, mendorong tubuh Dante ke atas ranjang dengan posisi terlentang. Bertumpu pada kedua sikunya, Dante memandang Rose yang bergerak nakal, sensual gerakannya. Melepas satu-satu pakaiannya. Menggoyangkan pinggul seksinya. Menggoda sejenak saat hanya bra dan celana dalam yang tersisa.
Kemudian dengan cepat dilepaskan juga bra-nya namun dengan ditutupi oleh telapak tangannya. Segera dia bergerak naik ke atas tubuh Dante, menyembunyikan wajahnya yang terlanjur memerah.
"Duhhh, malu…," ia berbisik setengah tertawa.
Direngkuh mesra tubuh telanjang itu oleh Dante.
Dielus sebentar, menenangkan.
Hanya rasa yang bicara.
Rose menyunggingkan sebentuk senyum.
Mengingat kenakalannya tadi.
Perlahan Dante bangkit, membalikkan tubuhnya, mencium mesra bibir gadis itu. Dirasakannya gerakan bibir Rose membentuk seulas senyum dalam tangkapan mulutnya. Tak tahan ia segera melepas ciumnya dan memandangi wajah yang sedang tersenyum manis itu. Membuatnya ikut tersenyum.
"Napa senyam-senyum gitu?"
"Oh, Dante... Kamu jangan berpikir kalau aku seperti itu. Godaan yang kamu tebarkan terlalu berat untuk diacuhkan."
"I know," bisik Dante.
Dikecup lembut bibir yang bergetar itu, "Aku suka gaya kamu, not bad at all."
"Iya, tapi…"
"Ssstt, jangan…" Dante menyergap bibirnya yang separuh terbuka. Lebih mesra.
Remasan lembut di payudaranya. Lidah Dante bergerak menggelitik, bermain sejenak di leher, berputar perlahan di telinganya. Lembab dan basah, ketika jari Dante sampai di belahan vaginanya.
"Hmm…" perlahan Dante menarik turun celana dalam Rose yang telah bergurat basah. Jarinya mulai menari-nari di clitnya yang menegang. Rose menggeliat.
"Dan… Dante……" Rose mendesah saat dirasakannya kelelakian Dante membelai bibir vaginanya. Perlahan Rose melebarkan kedua tungkainya. Penis Dante menusuk cepat saat menemukan jalannya, agak tertahan setengahnya.
...